JURNALKITAPLUS – Rencana Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti untuk mengembalikan sistem penjurusan di tingkat SMA pada tahun ajaran 2025/2026 memantik perdebatan luas di kalangan pendidik, akademisi, hingga orang tua murid. Sistem yang sempat dihapus oleh menteri sebelumnya, Nadiem Makarim, kini hendak dihidupkan kembali dengan alasan keberlanjutan jenjang pendidikan. Namun, sejumlah pihak menyebut kebijakan ini sebagai bukti lemahnya peta jalan pendidikan nasional.
Dalam diskusi bersama media di kantornya, Abdul Mu’ti menegaskan bahwa rencana ini bukanlah upaya menentang kebijakan menteri sebelumnya. Menurutnya, sistem penjurusan – IPA, IPS, dan Bahasa – diperlukan untuk menjamin kesinambungan antara pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Ia juga mengungkapkan rencana pelaksanaan Tes Kemampuan Akademik (TKA) sebagai pengganti Ujian Nasional, yang akan diujicobakan pada November 2025.
“Kami ingin sistem ini memudahkan siswa memilih jalur pendidikan sesuai kemampuan dan minat, serta memperkuat kesiapan akademik mereka saat masuk perguruan tinggi,” ujarnya.
Namun, Ketua Umum Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Fahmi Hatib, menilai kebijakan tersebut terburu-buru dan minim riset. Ia mengingatkan bahwa perubahan kebijakan yang terlalu cepat justru membuat guru dan siswa merasa seperti kelinci percobaan.
“Bayangkan, kurikulum merdeka belum selesai diimplementasikan, belum ada lulusan pun dari sistem itu, tapi sudah diganti lagi. Harusnya pergantian kurikulum dilakukan setiap 10 tahun, bukan secepat ini,” katanya.
Fahmi juga menyoroti masalah klasik dalam sistem penjurusan: ketimpangan fasilitas antar jurusan. Ia berharap jika penjurusan kembali diterapkan, semua jurusan mendapat perlakuan dan fasilitas yang adil.
“Jangan cuma IPA yang punya lab. IPS dan Bahasa juga butuh ruang praktik, entah itu simulasi ekonomi atau laboratorium bahasa,” tegasnya.
Kritik juga datang dari siswa. Ryu, seorang pelajar kelas X di Jakarta, berharap penerapan sistem ini diiringi dengan penyederhanaan jumlah mata pelajaran agar pelajar bisa fokus pada bidang yang diminati.
“Kalau tetap banyak mata pelajaran seperti sekarang, sistem penjurusan jadi mubazir. Kami tetap belajar semua hal, padahal harusnya bisa lebih fokus,” ucapnya.
Di sisi lain, dikutip dari kompas, pengamat pendidikan dari Universitas Paramadina, Totok Amin Soefijanto, menilai langkah pemerintah sebagai bentuk kebingungan sistemik akibat tiadanya peta jalan pendidikan jangka panjang yang konsisten. Ia menyebut gonta-ganti kebijakan tanpa kajian mendalam hanya akan membingungkan semua pihak.
“Bayangkan, murid IPS bisa masuk fakultas kedokteran karena tidak ada batasan saat seleksi. Akhirnya kampus harus menanggung mahasiswa yang tidak siap secara akademik,” kata Totok.
Sementara itu, Koordinator Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia, Ubaid Matraji, mengkritik keras arah pendidikan yang tak kunjung konsisten meski Bappenas telah meluncurkan Peta Jalan Pendidikan 2025–2045. Ia menyebut visi Indonesia Emas 2045 terancam gagal jika kebijakan pendidikan terus berubah-ubah sesuai selera menteri.
“Tidak ada kiblat. Tidak ada kesinambungan. Harusnya peta jalan jadi panduan siapa pun yang menjabat menteri,” ujarnya. Ia juga menyoroti rendahnya kualitas guru dan belum meratanya akses pendidikan berkualitas sebagai masalah mendasar yang belum terselesaikan.
Penjurusan di SMA memang bukan hal baru, tetapi wacana menghidupkannya kembali membuka luka lama: ketimpangan sarana, pelabelan intelektual, dan pengabaian pada minat siswa. Kebijakan ini bisa menjadi solusi, namun juga berpotensi mengulangi kesalahan jika tidak disertai perbaikan sistemik. (FG12)