Ketidakpastian Global Bayangi Ekonomi Nasional, Kredit Perbankan Cenderung Melambat -->

Header Menu

Ketidakpastian Global Bayangi Ekonomi Nasional, Kredit Perbankan Cenderung Melambat

Jurnalkitaplus
25/04/25


JURNALKITAPLUS – Di tengah bayang-bayang ketidakpastian global, sektor perbankan Indonesia terus berupaya menjaga stabilitas dan pertumbuhan. Sejumlah bank nasional mencatatkan kinerja positif meski tekanan eksternal dan internal cukup besar. PT Bank Central Asia (BCA) Tbk, misalnya, berhasil membukukan laba Rp14,1 triliun pada triwulan I-2025, didorong oleh pertumbuhan kredit 12,6 persen dan Dana Pihak Ketiga (DPK) 6,5 persen. Sementara itu, PT Bank Permata Tbk mencatatkan laba Rp788,97 miliar, turun 2,27 persen secara tahunan, dengan pertumbuhan kredit dan DPK masing-masing sebesar 6 persen dan 4,84 persen.


Direktur Utama Permata Bank, Meliza M Rusli, menegaskan pentingnya prinsip kehati-hatian dan disiplin dalam penyaluran kredit untuk menjaga kualitas portofolio pembiayaan, terutama di tengah dinamika perekonomian global yang terus berubah. Hal senada juga disampaikan Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja, yang berharap Bank Indonesia (BI) terus menjaga stabilitas nilai tukar dan likuiditas perbankan nasional.


Menurut Jahja, loan to deposit ratio (LDR) industri perbankan meningkat dari sekitar 84 persen pada 2023 menjadi hampir 89 persen pada akhir 2024, menunjukkan semakin ketatnya likuiditas perbankan. BCA pun mematok target pertumbuhan kredit tahun ini sebesar 6-8 persen, sedangkan DPK ditargetkan tumbuh 6-7 persen.


Likuiditas menjadi perhatian utama berbagai pihak. Ekonom Bank Danamon Hosianna Evalita Situmorang menyebut bahwa melambatnya permintaan kredit disebabkan oleh suku bunga tinggi dan kehati-hatian rumah tangga serta pelaku usaha. Namun, penambahan likuiditas dari jatuh temponya SRBI pada Mei-Juli 2025 dan insentif dari kebijakan likuiditas makroprudensial (KLM) BI diharapkan menjadi penyeimbang.


Ekonom SDI Dradjad Wibowo menyoroti strategi BI yang memilih membeli Surat Berharga Negara (SBN) ketimbang menaikkan suku bunga acuan. Hingga April 2025, BI telah membeli SBN senilai Rp80,98 triliun. Namun, jumlah SBN yang dimiliki BI kini mencapai Rp1.104,85 triliun, menjadikannya pemegang SBN terbesar. Dradjad mengingatkan pentingnya memperhatikan kelanjutan kebijakan quantitative easing BI serta dampaknya ke pasar.


Sementara itu, Bank Indonesia sendiri memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia 2025 akan berada sedikit di bawah titik tengah target 4,7-5,5 persen, yakni di bawah 5,1 persen. Ketidakpastian global dinilai berpengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap permintaan ekspor Indonesia dan berdampak pada prospek kredit perbankan, yang diproyeksikan hanya tumbuh sekitar 9 persen, di bawah target semula 11-13 persen.


BI pun memperkuat kebijakan makroprudensial akomodatif, termasuk optimalisasi KLM dan implementasi Rasio Pendanaan Luar Negeri (RPLN), untuk menjaga fungsi intermediasi perbankan serta mendorong penyaluran kredit ke sektor-sektor prioritas dan penciptaan lapangan kerja.


Dalam konferensi pers virtual Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI April 2025, Gubernur BI Perry Warjiyo menyampaikan bahwa ketidakpastian global yang dipicu oleh kebijakan tarif Amerika Serikat dan retaliasi dari China mengganggu stabilitas ekonomi dunia. Pertumbuhan global 2025 diperkirakan melambat dari 3,2 persen menjadi 2,9 persen, yang terutama terdampak adalah AS dan China.


Dengan mempertimbangkan dinamika global, BI memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan sebesar 5,75 persen. Langkah ini diambil guna menjaga inflasi dalam kisaran 1,5–3,5 persen serta stabilitas nilai tukar, sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi domestik di tengah meningkatnya fragmentasi ekonomi global. (FG12)


Data : Kompas