![]() |
ilustrasi |
Waroengkopi – Masbro, mbaksist, siapa sangka dunia peradilan kita ternyata penuh drama? Bukan cuma di sinetron, urusan hukum juga bisa penuh sandiwara—komunikasi kode-kodean antara advokat, panitera, dan hakim bisa kayak chat mantan yang nggak move on-move on!
Tapi tenang, Mahkamah Agung (MA) nggak tinggal diam. Dalam manuver barunya, MA ngerotasi besar-besaran 199 hakim dan 68 panitera, terutama yang mangkal di Jakarta dan Surabaya. Tujuannya? Biar gak ada lagi titip-titipan perkara kayak titip abon ke temen kos!
Suap dan Sinyal WhatsApp
Langkah ini muncul setelah Ketua PN Jaksel, Muhammad Arif Nuryanto, dan tiga hakim Tipikor ditangkap gegara dugaan suap perkara sawit. Waduh, dari sawit jadi "sawit-sawitan hukum"! Menurut advokat Ibnu Syamsu, celah curang sering muncul dari komunikasi kecil—kayak nanya jadwal sidang aja bisa nyelipin kode rahasia. Misalnya, bilang "nomor 3", itu bisa berarti "kode mata" buat panitera. Lah, ini pengadilan apa escape room?
e-Court Gak Menjamin, Tapi Smart Majelis Siap Bikin Kejutan!
Meski sistem e-Court udah jalan, celah main belakang masih eksis. Makanya, Ibnu usul pengadilan harus rapihin sistem persidangan kayak pengadilan agama yang udah mulai tertib. Jangan sampe advokat harus japri panitera cuma buat nanya sidang—ujung-ujungnya malah curcol perkara.
Nah, MA punya jurus pamungkas: Smart Majelis! Ini semacam aplikasi berbasis AI yang bisa nentuin majelis hakim secara otomatis. Jadi, gak bisa lagi tuh "nembak" hakim pilihan kayak milih juragan kosan. Sistem ini anti intervensi dan semua perubahan direkam—jadi gak bisa lagi "eh bro, gua deket sama hakimnya".
Harapan Baru: Dari Kode Rahasia ke Transparansi Hakiki
Peneliti Centra Initiative, Erwin Natosmal Oemar, bilang mutasi ini harus berlanjut dan bukan karena tekanan luar doang. Kalau konsisten, kualitas putusan bisa naik, dan pasar gelap jual-beli putusan bisa gulung tikar. Bayangin, dari pengadilan "selera mafia", jadi pengadilan "selera rakyat"!
Smart Majelis rencananya bakal dipakai di semua pengadilan tingkat pertama dan banding akhir 2025. Harapannya, sistem hukum kita gak lagi kayak warung kopi penuh bisik-bisik, tapi jadi ruang sidang yang transparan, bersih, dan berintegritas tinggi—kayak kopi hitam tanpa gula, pahit tapi jujur!
Akhir kata, semoga ke depan gak ada lagi sidang rasa "drama kolosal" dan para hakim, panitera, serta advokat bisa kerja profesional tanpa perlu pakai kode Morse atau isyarat mata. Karena kalau pengadilan udah kayak sinetron, rakyat cuma bisa jadi penonton sambil nahan emosi. (FG12)
...Kopi mana...kopi...!