Menjelang Hari Raya Idul Fitri, Tunjangan Hari Raya (THR) menjadi hal yang paling dinanti oleh para pekerja. Namun, tahukah Anda bahwa tradisi THR di Indonesia telah ada sejak era 1950-an?
Dilansir dari Republika online, sejarah pemberian THR tidak lepas dari peran Perdana Menteri Soekiman Wirjosandjojo. Pada masa pemerintahannya, Kabinet Sukiman-Suwirjo meluncurkan kebijakan untuk meningkatkan kesejahteraan aparatur negara dengan memberikan THR. Saat itu, THR diberikan kepada pegawai negeri dalam bentuk pinjaman di muka yang kemudian dikembalikan melalui potongan gaji. Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1954, yang hanya berlaku untuk aparatur negara.
Namun, kebijakan ini memicu protes dari kaum buruh yang merasa tidak mendapatkan perlakuan adil. Mereka menuntut agar pekerja swasta juga menerima tunjangan serupa. Perjuangan ini membuahkan hasil pada 1954 ketika Menteri Perburuhan mengeluarkan surat edaran yang mengimbau perusahaan untuk memberikan hadiah Lebaran bagi pekerja.
Pada 1961, aturan tersebut diperketat melalui peraturan menteri yang mewajibkan pemberian hadiah Lebaran kepada pekerja dengan masa kerja minimal tiga bulan. Kemudian, pada 1994, istilah "hadiah Lebaran" resmi diubah menjadi "Tunjangan Hari Raya (THR)" oleh Menteri Ketenagakerjaan.
Saat ini, pemberian THR diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016. Dalam aturan tersebut, pekerja dengan masa kerja 12 bulan atau lebih berhak mendapatkan THR sebesar satu bulan upah. Sementara pekerja dengan masa kerja minimal satu bulan tetapi kurang dari 12 bulan, menerima THR secara proporsional.
Selain itu, perusahaan yang terlambat atau tidak membayarkan THR sesuai ketentuan bisa dikenai denda dan sanksi administratif. Dengan regulasi yang lebih ketat, pemberian THR kini bukan sekadar tradisi, tetapi juga menjadi hak pekerja yang wajib dipenuhi oleh perusahaan. (FG12)