![]() |
gambar hanya ilustrasi |
Jakarta – Sejarah Revolusi Indonesia bukan hanya tentang pertempuran dan diplomasi, tetapi juga tentang budaya yang mengakar dalam masyarakat. Dalam Forum Diskusi Budaya (FDB) yang digelar Pusat Riset Masyarakat dan Budaya (PRMB) BRIN, peneliti Taufik Ahmad menyoroti peran penting tradisi lisan dalam membentuk ingatan kolektif dan identitas nasional, khususnya di Polombangkeng, Sulawesi Selatan.
Penelitian yang dilakukan Taufik, tertuang dalam artikelnya Oral Traditions and Local Authority: Viewing the Indonesian Revolution through a Cultural Lens, yang diterbitkan di Asian Studies Review pada Agustus 2024. Ia meneliti sejarah Polombangkeng, sebuah wilayah di Kabupaten Takalar, yang sejak abad ke-16 dikenal sebagai Kerajaan Bajeng.
Menelisik Peran Tradisi Lisan dalam Revolusi
Menurut Taufik, sejarah revolusi selama ini cenderung berfokus pada peristiwa nasional, sementara aktor lokal sering kali terabaikan. Di Polombangkeng, legenda Bajeng menjadi bagian dari tradisi lisan yang diwariskan turun-temurun dan berperan dalam perjuangan melawan penjajahan Belanda. Tradisi ini bukan sekadar kisah, tetapi juga bagian dari strategi politik dan identitas masyarakat setempat.
Polombangkeng terbagi menjadi dua wilayah, yaitu Polombangkeng Selatan dan Polombangkeng Utara, yang merupakan bagian dari Konfederasi Tiga Gallarang: Bajeng (Moncongkomba), Bontokadatto, dan Malewang. Sejak 2012, Taufik telah melakukan penelitian langsung ke kampung-kampung tua di daerah ini untuk memetakan kembali sejarahnya.
Dalam penelitiannya, Taufik mengkritik historiografi yang hanya berfokus pada kepemimpinan nasional dan mengabaikan peran kepemimpinan lokal. "Cara pandang ini menyingkirkan imajinasi aktor lokal terhadap bangsa berdasarkan referensi budayanya," ujarnya.
Warisan Budaya dan Identitas Nasional
Bagi masyarakat Polombangkeng, sejarah bukan hanya soal masa lalu, tetapi juga penentu posisi mereka dalam struktur sosial. Pemujaan terhadap benda pusaka dan praktik budaya lainnya terus berlangsung, bahkan setelah revolusi. Ini menunjukkan bahwa perlawanan terhadap penjajahan tidak hanya dilakukan melalui senjata, tetapi juga lewat warisan budaya yang tetap hidup.
Peneliti PRMB BRIN, Thung Ju Lan, menegaskan pentingnya menggali sejarah revolusi dari perspektif lokal. Ia menyoroti bagaimana daerah-daerah seperti Sulawesi Selatan memiliki dinamika revolusi yang berbeda dengan Jawa atau Sumatera. Menurutnya, memahami sejarah lokal secara lebih mendalam akan memberikan gambaran yang lebih utuh tentang perjalanan bangsa Indonesia.
Melalui penelitian ini, Taufik Ahmad mengajak masyarakat untuk melihat revolusi bukan hanya sebagai peristiwa politik, tetapi juga sebagai proses budaya yang melibatkan ingatan kolektif dan identitas lokal. Tradisi lisan seperti legenda Bajeng bukan sekadar cerita, tetapi juga bagian dari sejarah yang terus hidup dalam masyarakat. (FG12)
Sumber BRIN