Dulu, saf salat hanya diwarnai sajadah dan Al-Qur’an. Kini, satu benda tambahan jadi pemandangan umum di berbagai kegiatan keagamaan dan sosial: tumbler. Botol minum pribadi ini perlahan menjelma menjadi simbol kesadaran baru—gaya hidup sehat dan ramah lingkungan yang semakin mengakar di tengah masyarakat.
Gerakan membawa tumbler memang bukan hal baru. Namun dalam beberapa waktu terakhir, implementasinya terasa lebih masif dan terorganisir. Tak hanya menjadi pelengkap ibadah, tumbler kini juga menjadi ‘aksesori wajib’ dalam berbagai acara keagamaan, sosial, hingga budaya. Beberapa tempat bahkan menjadikannya semacam syarat tak tertulis untuk mengikuti kegiatan.
Fasilitas pengisian ulang air mulai menjadi standar di berbagai tempat. Penggunaan gelas sekali pakai dibatasi, dan konsumsi air kemasan mulai ditinggalkan. Langkah ini bukan hanya berdampak pada lingkungan, tetapi juga menghemat pengeluaran, baik bagi individu maupun institusi penyelenggara kegiatan.
Secara ekonomi, kebiasaan membawa tumbler membuat masyarakat lebih hemat. Tak perlu lagi membeli air minum dalam kemasan saat bepergian. Di sisi lain, ada kepuasan moral tersendiri karena telah turut berkontribusi dalam mengurangi sampah plastik yang menggunung.
Kini, tumbler tak hanya sekadar wadah air minum. Ia menjadi representasi gaya hidup sadar lingkungan, efisien, dan bertanggung jawab. Di tengah berbagai agenda—ibadah, rapat, hingga konser musik—tumbler menjelma menjadi barang bawaan esensial. Rasanya seperti ponsel: kalau tertinggal, ada yang kurang. (FG12)