![]() |
Soeharto |
JURNALKITAPLUS - Usulan pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden kedua RI, Soeharto, memicu gelombang kontroversi di tengah masyarakat. Meskipun Menteri Sosial Saifullah Yusuf menyatakan bahwa semua masukan akan dipertimbangkan, penolakan keras dari berbagai elemen masyarakat sipil yang menyoroti catatan kelam pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) selama 32 tahun kepemimpinan Soeharto terus bergulir.
Secara khusus, Mensos Saifullah mengakui bahwa usulan gelar pahlawan untuk Soeharto selama ini terganjal oleh Tap MPR Nomor XI Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN. Namun, ia mengklaim bahwa pencabutan nama Soeharto dari Tap MPR tersebut oleh MPR pada September 2024 telah membuka jalan secara normatif, meskipun langkah pencabutan ini menuai kritik karena dinilai tidak memiliki dasar hukum yang kuat dan melangkahi kewenangan MPR.
Meskipun demikian, Saifullah menekankan bahwa pro dan kontra dalam pemberian gelar pahlawan nasional adalah hal yang biasa, mengingat setiap calon pahlawan adalah manusia dengan kelebihan dan kekurangan. Ia memastikan bahwa masukan dari masyarakat akan dipertimbangkan dalam proses pengambilan keputusan yang diharapkan selesai menjelang Hari Pahlawan pada 10 November mendatang. Proses pengusulan sendiri dilakukan bertahap, mulai dari tingkat kabupaten/kota hingga nasional, dengan melibatkan tim peneliti dan pengkaji yang melibatkan akademisi, tokoh masyarakat, dan saksi sejarah.
Sekretaris Jenderal Partai Golkar, Sarmuji, secara terpisah menyatakan dukungan penuh partainya agar Soeharto dianugerahi gelar pahlawan nasional, bahkan menyebutkan bahwa Golkar telah lama mendorong pemerintah untuk memberikan penghargaan tersebut. Senada, Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi sebelumnya menyatakan tidak mempermasalahkan usulan Kemensos, dan berpendapat bahwa tidak ada sosok yang sempurna.
Namun, penolakan justru datang dari berbagai organisasi masyarakat sipil. Amnesty International Indonesia melalui Direktur Eksekutifnya, Usman Hamid, mengingatkan bahwa kepemimpinan Soeharto diwarnai kekerasan negara yang sistematis, pembredelan media massa, pelanggaran HAM berat, serta praktik KKN yang merajalela. Usman menilai pengusulan Soeharto tanpa mempertimbangkan catatan kelam ini sebagai upaya menghapus dosa dan memutarbalikkan sejarah, dan mendesak pemerintah untuk fokus menunaikan komitmen pengusutan pelanggaran HAM berat era Soeharto yang bahkan telah diakui negara.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) bersama dengan Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto (Gemas) secara tegas mendesak Mensos dan Dewan Gelar Pahlawan untuk tidak mengusulkan nama Soeharto. Gemas bahkan telah melayangkan surat penolakan yang ditandatangani oleh 200 orang dan menggalang petisi daring yang hingga Selasa (22/4/2025) telah mengumpulkan ribuan tanda tangan. Kepala Divisi Pemantauan Impunitas Kontras, Jane Rosalina Rumpia, menilai usulan tersebut sebagai upaya penghapusan sejarah dan pemutihan kejahatan Soeharto, apalagi MPR sebelumnya telah mencabut namanya dari Tap MPR Nomor XI Tahun 1998. Kontras juga berpendapat bahwa rekam jejak Soeharto tidak memenuhi kriteria dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan.
Polemik mengenai usulan pemberian gelar pahlawan nasional untuk Presiden kedua RI Soeharto semakin memanas. Menteri Sosial Saifullah Yusuf menegaskan bahwa semua masukan yang muncul akan menjadi pertimbangan pemerintah dalam proses yang tengah berjalan. Kementeriannya melalui Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Tingkat Pusat (TP2GP) saat ini tengah mempelajari dan memfinalisasi usulan gelar pahlawan nasional dari berbagai provinsi, di mana nama Soeharto dan Presiden keempat RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur) termasuk dalam 20 nama yang diusulkan. Saifullah menyatakan bahwa kedua tokoh tersebut berpeluang menjadi pahlawan nasional tahun ini karena dinilai telah memenuhi syarat-syarat normatif berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009, dilihat dari perjalanan hidup dan prestasi-prestasi mereka. Pemberian gelar ini, menurut Saifullah, bertujuan untuk mengingat jasa-jasa baik kedua tokoh tersebut dan mempertahankan nilai-nilai positif. (FG12)