Akal Tanpa Akhlak Jadi Akal-akalan, Ketahui Penyebabnya -->

Header Menu

Akal Tanpa Akhlak Jadi Akal-akalan, Ketahui Penyebabnya

Jurnalkitaplus
27/02/25




Filsafat merupakan bagian tak terpisahkan dari manusia. Kita, manusia, diberikan modal besar: akal. Maka otak atau akal apakah untuk berpikir, atau untuk akal-akalan? 

Tanpa akhlak, akal dipakai menjadi akal-akalan. 

Terdapat beberapa tokoh yang mempelajari studi ini. Tokoh filsafat seperti Plato mendalami mistik (keagamaan), sedangkan Aristoteles mengikuti rasionalistik dan eksistensialisme. 

Kita mengenal handphone. Tentu kita tidak menilai dari chasing nya saja.. kita melihat mereknya, juga melihat fitur-fiturnya. Lantas, dengan harga mahal ini, apakah kita mampu menggunakannya? 

Manusia modern kini cenderung mengedepankan tampilan. padahal bagaimana jiwanya, yang ada di dalam jasmani, merupakan wujud aktivitas yang penting. Aktivitas ini bekerja secara spontan atau autokineton (gerakan tak terlihat). Hal ini berbeda dengan badan, yang terlihat. 

Menurut Plato, terdapat tiga tingkatan dalam aktivitas di dalam jiwa
  • Nafsu rendah (ephitumia), kebutuhan seperti makan, minum, dan penyalurannya syahwat ke lawan jenis. Ini harus dikendalikan, makannya minumnya dengan apa. Modern kini sudah jutaan makanan sampai disebut 'wisata kuliner'. 
  • Nafsu tengah (thumos), seperti spirit, agresivitas, kemenangan, sukses, reputasi, passion, gairah, ambisi, contohnya ingin menjadi manager dalam posisi perusahaan. Dibutuhkan pengendalian terhadap ambisi ini, dilandasi dengan makan minum dan rasa cinta. 
  • Rasio (logistikon), mengendalikan ephitumia dan thumos. Ephitumia makanannya secara fisik, thumos makanannya secara cita-cita, oh maka pemikirannya akan, "Apakah makanan yang saya makan dan saya inginkan ada artinya." Logistikon akan menggerakkan hal ini. 
Jiwa menurut pandangan Plato diumpamakan dengan tentara atau serdadu yang sedang mengendarai dua kuda. Kuda yang berwarna putih yaitu thumos, kuda hitam yaitu ephitumia, dan manusianya sendiri yaitu logistikon

Kudanya digambarkan terbang. Dalam gambaran ini manusia harus sampai ke awan, mengingat keinginan yang ke atas. Namun, jika jiwanya tidak dikendalikan, ia akan turun ke bawah. 

'Lahan' di dalam jasmani menjadi aktivitas oleh jiwa, maka harus diisi dengan berbagai hal bermanfaat, sesuai ajaran Allah agar ditempati oleh malaikat. Maka kelakuannya akan seperti malaikat. Jika sebaliknya, malah bisa berkelakuan seperti setan. 

Orang yang berpikir seperti di atas akan harmoni: mampu mengendalikan nafsu rendah, tengah, dan menggunakan akal pikiran dengan benar sehingga ia menjadi cerdas. 

Kalau thumos saja, ia akan semata-mata menginginkan harta saja, duniawi saja, juga bisa tanpa perhitungan dalam mengambil keputusan, ingin kesenangan belaka. Begitupun jika ephitumia saja, ia hanya memilih pasangan yang menurutnya oke saja: hanya yang penampilannya bagus saja tanpa memikirkan perilaku di dalamnya. 

Plato menyebut manusia harus memiliki keutamaan-keutamaan yang terwujud secara optimal, di antaranya adalah kesederhanaan, keberanian, kebijaksanaan, dan keadilan. Sobat JKPers setuju? (ALR-26)

Sumber: Drs. Muhtar Fatwa, S.I.Kom, M.I.Kom