Selfie dan Stigma: Bagaimana Media Sosial Mempengaruhi Persepsi Kesehatan Mental di Kalangan Anak Muda -->

Header Menu

Selfie dan Stigma: Bagaimana Media Sosial Mempengaruhi Persepsi Kesehatan Mental di Kalangan Anak Muda

Jurnalkitaplus
30/01/25

Hola Sobat JKPers!

Kembali lagi di tulisan ini yang insyaAllah bermanfaat untukmu sebagai pembaca setia atau kamu ada pendatang baru? Welcome!

Artikel sebelumnya yang ku tulis ialah : 'AI dan Algoritma: Apakah Teknologi Membantu atau Menghambat Kesehatan Mental Gen Z?' sekilas info, perkenalkan aku Firda Alifa Ibrahim.

Perihal artikel keempat aku ini kemungkinan besar terjadi di kamu, belum atau sudah, atau akan. Mungkin lebih baiknya, kita mempersiapkan. Katanya, : "Orang yang salah mengambil keputusan, karena ilmu nya kurang."

Masih terbilang tidak mungkin terjadi di antara mu, atau lingkunganmu. Tapi, kenyataannya, masih ada orang yang dipengaruhi oleh media sosial terkait selfie dan stigma. Mau tau lebih lanjut? Simak! Supaya pengetahuan mu gak di situ-situ melulu.

Buat pembaca artikel JKP aku udah yakin banget pasti tau deh apa itu selfie, kan? Jadi ga perlu dong aku bahas soal apa sih ko rasa percaya diri, bisa jadi lebih cinta sama diri sendiri, kayak lagunya Justin Bieber 'Love Yourself' ya, kan?"

Nah itu salah satunya tapi kita coba belajar jadi penulis yang merangkai kata demi kata dalam sebuah cerita sampai di mana ketemu dengan endingnya, plot twist nya, bahkan kita juga buat konfliknya. Oke, ya?

·       Selfie pertama kali, kemungkinan besar dapat pujian dari temen semisalnya teman kamu baik dan mungkin enggan dan suka dengan wajah atau tubuhmu.

·       Pas selfie berikutnya udah ga lagi dipuji apa lagi likes sudah menurun. Mulailah dirimu merasa cemas, "Apa pipi aku terlalu tirus? Atau mata ku yang ga simetris?" kalo dalam sebuah fenomena ini disebut social comparison theory, di mana anak muda sering membandingkan diri mereka dengan standar kecantikan atau gaya hidup yang tidak realistis.

·       Cari tahu alasan kenapa semakin sering selfie ga dapat pujian atau juga likes. Di sini lah, ketika ketemu alasannya, banyak berbagai sumber yang kemungkinan memperkuat dirimu untuk 'menyempurnakan' justru membuatmu frustasi, haus akan validasi dan aku tanya, "apakah itu bisa disebut mencintai diri sendiri?"

·       Sampai tibanya kamu menganggap bahwa mempertunjukan dirimu yang saat ini sedang insecure atau tidak percaya diri, justru menghambat mu dan terus-terusan merendahkan dirimu sendiri.

Wah! Berhasil ya membuat rangkaian yang terlihat awalnya sepele niatnya meningkatkan rasa percaya diri bisa seketika muncul rasa insecure yang bisa jadi parah lho!

Kali ini aku mau bahas soal pandangan negatif atau penilaian buruk terhadap Kesehatan mental di media sosial, yang secara singkat aku bilang stigma Kesehatan mental di media sosial.

·       Penilaian buruk tentang Kesehatan mental, banyak diskusi Kesehatan mental yang semakin terbuka ini justru membuka peluang bahwa stigma masih ada terlebih lagi yang kita fokuskan adalah media sosial. Dari kebanyakan anak muda masih ada saja yang merasa tertekan untuk tampil sempurna dan menyembunyikan masalah Kesehatan mental mu. Dan kamu mengungkapkan perasaan cemas, seperti ketakutan bahkan sampai depresi. Yang identiknya kamu justru seringkali menutupi masalah dengan tampilan yang tampak sempurna di media sosial.

·       Soal fenomena "fake it till you make it" yang dikenal sebagai masking. Jadi, kamu yang merasa terpaksa untuk menyembunyikan perasaan atau masalah yang dihadapi, karena rasa takut dikucilkan atau tidak menerima semua itu. Kamu lebih memilih dengan memposting selfie adanya kebahagiaan dan kepuasaan sementara padahal aslinya sedang berjuang dengan perasaan yang sebaliknya.

·       Karena kita tahu perihal media sosial dipenuhi dengan pesan positif, justru ini bisa jadi berlebihan dan yang dikenal toxic positivity ada nya ekspresi kebahagian dan optimisme yang diterima, hanya saja ada perasaan negatif yang lebih sering kamu rasakan seperti kelelahan mental diabaikan. Justru ini bisa membuat dirimu merasa terisolasi karena tidak dapat berbicara tentang kesulitan yang kamu alami dan merasa dihakimi.

Sadar ga sadar, kamu mungkin terlintas atau mungkin saat ini mengalami. Aku harap ini bisa menjadi sebuah refleksi diri.

Tidak hanya itu saja, aku jabarkan perihal dampak penggunaan media sosial terhadap Kesehatan mental:

·       Kemungkinan besar, kamu atau temanmu mengalami hal serupa yaitu sering banget mengunggah selfie guna meningkatkan rasa percaya diri eh malah fokusnya menunggu respon atau target melihat untuk bisa memberikan kepuasaan terhadap dirimu, ya, kan? Nah kalau benar sampai 80% berarti kamu sudah ketergantungan pada validasi sosial.

·       Mungkin ini agak sensitif, seperti memancing komentar terhadap penonton yang melihat selfie yang kamu unggah, justru bukan dipuji melainkan kamu dilempari sarkas, hadirlah body shaming dan cyberbullying. Nantinya kamu tidak nafsu makan, isi pikiran kamu nyaris dikuasai oleh ucapan mereka yang menjatuhkan harga dirimu.

·       Terkadang atau sering, ya? biasanya kalo kamu udah upload selfie bisa jadi melihat berkali-kali ga sih? Dan lanjut melihat story orang lain, lalu ga sadar malah jadi ajang perbandingan. Selfie dapat memperburuk perasaan cemas dan depresi yang kemungkinan kamu rasakan.

Ada masukan perihal mengatasi dampak negatif:

·       Karena adanya penilaian buruk terhadap selfie, lebih penting untuk meningkatkan kesadaran tentang Kesehatan mental. Coba kamu bisa cari lebih jauh tentang bagaimana menyelamatkan Kesehatan mental mu tanpa harus membandingkan diri selama itu, terus-terusan menghina diri karena tidak sempurna orang yang kamu idamkan.

·       Jika kamu ingin menyelamatkan banyak orang juga, bisa lebih fokus pada penggunaan media sosial yang lebih sehat. Coba deh ceritakan pengalaman yang nyata dan menghindari filter atau penggunaan filter secukupnya. Jangan sampai ada rasa membanding-bandingkan diri dengan orang lain. Beritahu juga perihal belajarlah jujur dan lebih terbuka jangan sampai dikuasai dengan positif thinking yang berujung ke toxic positivity.

·       Cari lebih banyak komunitas atau perkumpulan yang menyediakan ruang bagi dirimu untuk bisa lebih berani berbicara tentang Kesehatan mental tanpa rasa takut dihakimi atau dibilang aneh.

 

Aku tahu, kemungkinan diantara sobat JKPers, ada yang tidak setuju dengan perihal selfie, dibilang terlalu berlebihan lah dan lain-lain. Tapi sadar tidak? Perihal orang yang lebih pandai untuk menyembunyikan dirinya yang suka selfie dan terus-terus an menunjukkan bahwa dirinya baik-baik saja, padahal dirinya dikuasai oleh toxic positivity.

Semoga kamu bisa menemukan kepastian dari pendukung artikel ini, ya, Sobat JKP! Jangan lupa share sebanyak-banyaknya untuk bantu menyelamatkan orang di sekitarmu. Sampai ketemu di tulisan ku berikutnya, ya! Salam hangat dari Firdha Alifa Ibrahim.