Saat Capung Menghilang, Kita Harus Cemas: Alarm Alam yang Mulai Bungkam -->

Header Menu

Saat Capung Menghilang, Kita Harus Cemas: Alarm Alam yang Mulai Bungkam

Jurnalkitaplus
12/04/25



Ketika terakhir kali Anda melihat capung beterbangan di atas kolam atau kupu-kupu menari di antara bunga, mungkin Anda tak menyadari: itu bukan sekadar pemandangan indah, tapi sinyal penting dari alam. Kini, suara alarm itu mulai melemah. Penurunan drastis populasi serangga seperti kupu-kupu dan capung bisa jadi peringatan dini bahwa ekosistem kita sedang menuju titik kritis.

Serangga, Penjaga Tak Terlihat Kehidupan Kita

Lebih dari 75% tanaman pangan dunia membutuhkan jasa serangga untuk proses penyerbukan. Tanpa mereka, krisis pangan bukan lagi isu masa depan, melainkan bahaya nyata yang bisa mengetuk pintu kapan saja. Serangga seperti lebah, kupu-kupu, dan bahkan lalat bukan hanya tukang kebun alam, tapi juga penjaga keseimbangan populasi hama. Capung, misalnya, adalah pemangsa alami nyamuk—yang tanpanya, kasus demam berdarah bisa melonjak.

Selain itu, peran mereka sebagai pengurai bahan organik mempercepat daur ulang nutrisi dalam tanah. Tanpa serangga pengurai, tanah menjadi miskin, tanaman enggan tumbuh subur, dan hasil panen menurun drastis. Dalam rantai makanan, serangga adalah bahan bakar utama bagi burung, ikan, dan mamalia kecil. Kehilangan mereka berarti memutus banyak mata rantai kehidupan.

Jika Mereka Hilang: Efek Domino yang Menghantam Manusia

Penurunan populasi serangga bukan sekadar isu lingkungan. Ia menyerang langsung ke jantung kehidupan manusia. Produksi pertanian bisa merosot, penyakit bisa mewabah karena predator alami menurun, dan tanah bisa kehilangan kesuburan akibat lumpuhnya sistem penguraian alami. Saat satu jenis serangga hilang, efeknya merambat ke segala arah: tumbuhan gagal berkembang biak, predator kehilangan mangsa, dan keanekaragaman hayati ambruk.

Pelakunya? Kita Sendiri

Sayangnya, penyebab krisis ini tak jauh-jauh dari aktivitas manusia: perusakan habitat akibat urbanisasi dan deforestasi, penggunaan pestisida secara brutal, pencemaran air dan udara, perubahan iklim ekstrem, hingga serbuan spesies invasif. Pestisida jenis neonicotinoid, contohnya, terbukti membunuh jutaan serangga penyerbuk. Di sisi lain, air yang tercemar limbah pertanian membuat larva capung tak bisa bertahan hidup.

Indonesia: Megabiodiversitas yang Lengah

Konsep "Megadiversity Countries" yang diperkenalkan oleh Konservasi Internasional pada tahun 1988 menjadi salah satu kerangka kerja awal yang mengakui pentingnya Indonesia dalam keanekaragaman hayati global. Data dari lembaga seperti LIPI/BRIN juga secara konsisten menyoroti kekayaan alam Indonesia. Hal ini menjadi pertanda bahwa eksistensi Indonesia dalam ketersediaan kekayaan hayati sangat diakui dunia.

Ironisnya, Indonesia sebagai salah satu negara dengan keanekaragaman hayati tertinggi justru masih abai pada isu serangga. Riset masih minim, kebijakan konservasi lebih fokus pada fauna besar seperti harimau dan gajah. Padahal, kupu-kupu dan capung di Tanah Air sudah lama menjadi saksi diam dari kerusakan lingkungan—dari hutan yang dibabat hingga rawa-rawa yang tercemar.

Kupu-Kupu dan Capung: Alarm Alami yang Sering Diabaikan

Keduanya bukan sekadar cantik, tapi juga pintar bicara. Kupu-kupu sangat sensitif terhadap perubahan iklim, penggunaan pestisida, dan hilangnya tanaman inang. Di Eropa, populasi kupu-kupu padang rumput menurun akibat pertanian intensif. Di Indonesia, kupu-kupu endemik seperti Birdwing perlahan lenyap bersama hutan-hutan tropis yang dibabat.

Capung pun tak kalah penting. Mereka adalah bioindikator kualitas air tawar. Jika kolam atau sungai kehilangan capung, bisa dipastikan ada pencemaran yang terjadi. Jepang bahkan menggunakan capung untuk memantau proyek restorasi sungai. Di Indonesia, lenyapnya capung dari rawa-rawa bisa menjadi bukti nyata limbah pertanian sudah merajalela.

Waktunya Bertindak Sebelum Alam Bungkam Sepenuhnya

Perlindungan habitat, pertanian berkelanjutan, riset yang serius, dan edukasi publik jadi kunci untuk menyelamatkan mereka—dan kita. Melestarikan capung dan kupu-kupu berarti melestarikan seluruh ekosistem. Mereka adalah wajah pertama dari kerusakan yang lebih besar.

Saat capung tak lagi beterbangan dan kupu-kupu tak lagi hinggap di bunga, bukan hanya keindahan alam yang hilang, tapi juga keseimbangan kehidupan yang rapuh. Jika alarm-alarm alami ini terus kita abaikan, kita tidak hanya kehilangan serangga. Kita bisa kehilangan masa depan. (FG12)