Los Angeles …
Salah satu kota yg paling gemerlap mewah dan elegan di Amrik, hanya dalam tempo seminggu porak poranda. Gabungan dari kebakaran hutan dan badai Santa Ana yang berkecepatan 120 km/ jam, menghanguskan dan meratakan kota kebanggaan para artis Hollywood itu. Kota hangus bak kota Pompei di jaman nabi Luth, yang habis dihajar gunung Vesuvius, karena perilaku penduduknya sudah menyimpang jauh dari ajaran fitrah.
Kota megah, yang lalu nampak rata bak sudah dijatuhi bom atom. Mirip dengan Hiroshima dan Nagasaki dulu, bahkan lebih luas lagi dalam hal area kerusakannya. Tidak kurang dari 40.000 Ha, atau 400 km2 yang terbakar habis. Agar lebih mudah bayangkan sebuah wilayah dengan panjang x lebar, 20 x 20 km.
Kalau di Bandung mirip sebuah wilayah, dari Cimindi di barat sampai Ujung berung di timur, lalu dari dago di utara sampai dayeuh kolot di selatan, semua apa yang ada didalamnya terbakar habis, sampai rata dengan tanah. Seluas itulah kerusakan akibat kebakaran di Los Angeles.
Mirip kisah Bandung Lautan Api, yang ini Los Angeles lautan api. Keduanya juga mirip, Jika di Bandung akibat peperangan melawan penjajah. Sementara di Los Angeles peperangan melawan alam. Bedanya penduduk Bandung yang diserang. Sedangkan disana alam yang diserang oleh penduduk. Jadi alam yang balik melawan.
Mengapa alam balik menyerang ?,
Mungkin karena sudah sebal dengan tingkah manusia, yang sok macho, sok berkuasa, sok jagoan, untuk menguasai, merusak dan menaklukan alam. Sehingga alam bangkit melawan dan memberi peringatan keras pada manusia. Yang hanya mampu berkelit dengan memakai bahasa “The Climate Change”. Oh itu mah hanya sekedar perubahan iklim dan cuaca, hanya persoalan sepele yang tak usah di besar2 kan.
Ya betul, para pemimpin, para tokoh, bahkan sebagian besar umat manusia, mencoba menyederhanakan masalah dengan menggunakan istilah climate change tadi. Padahal dampaknya bukan hanya untuk sebuah wilayah, namun mendunia. Bukan hanya untuk Los Angeles yang dikenal sangat materialistic dan jauh dari Tuhan. Tapi juga bisa kena pada daerah yang sangat dekat dengan Tuhan. Karena dengan waktu yang hampir bersamaan, kota Makkah dan Madinah dikenai juga olah badai yang membawa dampak banjir di mana mana di seluruh kota.
Mungkin persoalan yang terbesar adalah, akibat sebuah dogma dan paradigm. Yaitu bagaimana cara kita dalam melihat bumi ini selama ini. Sebuah paradigma yang disebarkan selama ber abad2. Yang kita angguki secara kolektif, sebagai sebuah keniscayaan dari sebuah peradaban modern.
Padangan sok macho ini, bukan hanya dikalangan urban saja, tapi sempat juga diam diam melekat pada kita sebagai kelompok pegiat alam terbuka, yang mengakui sangat akrab dengan alam ini.
Syahdan,
Ketika konsep pandu di pramuka kan pada medio 60 an yg lalu, beberapa kalangan melihat hal itu sebagai upaya untuk meng kooptasi kalangan generasi muda, agar lebih mampu untuk dikendalikan oleh pihak penguasa. Tak heran jika di tahun 1964, di awali di kota Bandung, munculah gerakan pemuda yang ingin lebih bebas mengekspresikan dirinya, dalam bergiat di alam terbuka, dan 3 bulan kemudian di UI Jakarta.
Waktu itu sebutan umumnya adalah sebagai Pendaki gunung dan penempuh rimba. Pemikiran awam masih diselimuti kisah-kisah petualangan kelelakian kelas dunia ala George Mallory, Kapten Scot, Amundsen, Sir Edmund Hillary, bahkan para penjelajah ruang angkasa Neil Armstrong, Edwin Aldrin, Yuri Gagarin, dsb., yang menyedot emosi, dan menggugah serba keingin-tahuan.
Tentu saja di bumbui setumpuk kisah dari Baden Powell dalam “Scouting for Boys” serta “Adventuring to Manhood”. Sungguh macho, kisah petualangan, cerita menegangkan layaknya Indiana Jones yang bertualang di suku-suku primitif nan eksotik, atau kisah Winnetou dan Oldshatterhand dalam buku buku Karl May.
Organisasi manapun, pribadi siapapun kalau ingin bertengger di papan atas, syaratnya satu saja yaitu gunung mana, pantai mana, gua mana, jeram sungai mana yang telah ”ditaklukan”. Sungguh macho, bak Rambo dengan paradigma vini, vidi, vici nya. Aku lihat, aku datang dan aku menang. Bukan Cuma dalam pengembaraan, bahkan dalam operasi-operasi kemanusiaan seperti SAR, aroma persaingan ini tampak kental.
Sampai awal 80 an, ketika orang mulai sadar, bahwa lingkungan adalah sebuah keniscyaan dimana manusia tinggal. Sebuah habitat yang sangat berpengaruh bagi kelangsungan umat manusia. Lalu pertanyaan awal di ulang kembali, apakah esensi dari semua penaklukan terhadap alam tadi ?. Penaklukan butuh peperangan dan perlawanan, dan apapun itu akan dikenai hukum, yaitu yang menang akan jadi arang, dan yang kalah akan jadi abu. Layakny di awal tulisan, yaitu Los Angeles yang berubah menjadi tumpukan arang dan abu.
Nun jauh
Dibelahan dunia sana, sekumpulan orang pintar, macam biolog Lynn Margulis, ahli kimia James Lovelock, dll berkumpul untuk membuat sebuah riset yang dikenal dengan project “Gaia” ( dewi bumi dlm bahasa Yunani ). Sebuah proyek untuk meneliti bumi secara menyeluruh. Hasilnya sungguh mencengangkan semua pihak. Yaitu bahwa …..
“seluruh fenomena tatadiri bumi seperti pengaturan tata kimia biosfir, temperatur permukaan, dan banyak aspek lingkungan lainnya, hanya bisa dipahami apabila planet bumi secara keseluruhan dianggap sebagai organisme hidup tunggal.” ( Fritjof Capra , The Turning Point, 1997 : 399).
Bahwa bumi bukan “sekedar” sebuah planit dalam tatasurya, bukan hanya sebuah benda angkasa, namun organisme hidup , nah lho !.
Mari kita validasi sama sama.
Jika bumi ini hanya benda, layaknya sebuah mesin maka dia akan dikenai oleh hukum ENTHROPY, alias hukum termodinamika ke 2 dari Sadi Carnot. Yang bunyinya sbb : “ Dalam sebuah sistem tertutup, energi positip akan berkurang, sedangkan kekacauan energi (enthropy) akan naik. Dan naik terus sampai mencapai titik ekulibrium (kesetimbangan) baru yaitu kematian panas “.
Bayangkan sebuah motor, kasih bensin sebanyak-banyaknya, lalu nyalakan mesinnya, dan biarkan. Sehari, seminggu, sebulan, dst. Mesin akan mengalami pengausan onderdil akibat gesekan dan panas. Sampai pada satu titik mesin rusak dan mati, lalu semua komponen mendingin sebagai sebuah kondisi ekulibrium baru.
Namun apa yang terjadi di muka bumi, adalah sebaliknya.
Kompleksitas bertambah, seperti yang diperlihatkan oleh bertambah majunya struktur dan kecerdasan spesies. Dimulai dari 4 milyar tahun yang lalu, dengan jenis microba eukaryotic, lalu ber evolusi semakin kompleks menjadi eucaryot ( = true nucleus ). Yang mengembangkan blueprint dirinya dari catatan RNA menjadi DNA.
Pada 540 juta yang lalu, terjadi ledakan species, yang tadinya mono selular menjadi mahluk yang multi selular. Lalu berkembang menjadi jenis ikan, amfibi, reptile, aves dan mamalia. Dimana puncaknya adalah jenis primata, dimana yang paling kompleks tentulah ujud manusia.
Naiknya kompleksitas membutuhkan energi positip, yang semuanya disediakan oleh bumi. Dengan kata lain, teori evolusi disuguhkan dalam tatanan “co-evolusi” dari sang kehidupan bumi itu sendiri.
Seandainya jika bumi ini hanya benda, maka yang seharusnya terjadi evolusi negatif (entrophy), atau dari struktur kompleks menjadi struktur-stuktur yang lebih sederhana. Dari cerdas menuju bodoh. Seperti contoh penguraian makanan yang berubah menjadi kotoran, lalu menjadi zat hara ( lihat teori kimia dissipatif dari pemenang Nobel Illya Prigogine ).
Maka benar seperti apa yang disimpulkan oleh project Gaia, bahwa bumi semestinya adalah ORGANISME, sebuah mahluk hidup yang BERKESADARAN. Dia adalah ibu susu bagi setiap mahluk, dia yang kita kenal sebagai ibu pertiwi, atau mother earth kata orang sono, alias ibu dari semua ibu.
Kita simak pendapat dari Carolyn Merchant dalam bukunya “ The Death of Nature “ , yaitu sbb : “Gambaran bumi sebagai organisme hidup dan ibu susuan, berfungsi sebagai hambatan budaya yang membatasi tindakan manusia ... selama bumi dianggap hidup dan berperasaan, melakukan tindakan yang merusak bumi, dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap perilaku etis manusia “. (Merchant , 1980 : 3 ).
Maka perbuatan menantang alam, mengalahkan apalagi merusak alam, hanya bisa diartikan sebagai perbuatan anak yang merusak dan memperkosa ibunya sendiri. Tak ada satupun etika, norma, nilai, atau agama yang membenarkan hal itu.
The climate change yang sudah membawa sekian banyak dampak bencana, sesungguhnya lebih mirip teguran dari seorang ibu, pada anak2 nya yang jumawa, merasa paling sok, seraya melupakan fungsi dan tujuan kehadirannya di atas bumi ini.
Sedang bagi para pegiat alam terbuka
Alangkah indahnya, saat pakaian lapangan sudah dikenakan, saat ransel penuh sudah digendong, saat kita menghadap pada bapak dan ibu, pada pak Rektor, pada para senior, lalu ucapkan kata pamit itu :
Pak , bu, akang , teteh… kami pamit pergi kealam, untuk mencari ilmu dan pengalaman hidup.
Kami pamit untuk bersilaturahim pada ibu, … ibu dari semua ibu, ibu kita semua, ….sang ibu pertiwi.
Lalu tanyalah,
Orang tua mana yang akan menolak,
Senior mana yang akan menentang,
Dan pak Rektor mana yang tak memberi ijin.
Apalagi kita para pegiat perjuangan terlaksananya Rahmatan Lil A’lamin di muka bumi ini, di seantero bumi raya ini, induk dari semua makhluk hidup,,, Mari Kuatkan Niat, Hujamkan keyakinan kita adalah petugas dari Rabb Pengatur Alam untuk pengelolaan alam raya ini agar hidup dan kehidupan di dalam nya selalu senantiasa seiring sejalan harmonis dalam pelaksanaan pengabdian pada Tuhan, Damai di bumi Damai di Langit.
Jika semua didasari oleh silaturahim ……
Sebuah niat berbagi dalam kebaikan.
Dan semua bencana itu, Insya Allah
Akan mereda,,, ln Sya Allah, Aamiiiin. (AR, JKP-011)
Dari Berbagai Sumber Literasi