MALANG — Dunia medis kembali tercoreng oleh dugaan pelecehan seksual yang dilakukan oleh oknum dokter kepada pasien. Kali ini, kasus muncul dari Kota Malang, Jawa Timur. Seorang pasien mengungkap pengalaman pahitnya melalui unggahan Instagram, mengaku menjadi korban pelecehan oleh seorang dokter saat dirawat di rumah sakit swasta pada 2022 lalu.
Unggahan yang viral itu memicu penyelidikan internal oleh pihak rumah sakit, Persada Hospital. Humas rumah sakit, Sylvia Kitty Simanungkalit, mengonfirmasi bahwa dokter terduga pelaku adalah bagian dari tim medis mereka dan telah dinonaktifkan sementara. “Kami telah membentuk tim investigasi. Bila terbukti, akan ada tindakan tegas sesuai hukum yang berlaku,” tegasnya.
Bukan Kasus Pertama
Kasus serupa sebelumnya mencuat di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, di mana seorang dokter spesialis diduga menjadi pelaku pelecehan terhadap pasien perempuan. Belum reda kasus tersebut, muncul lagi laporan dari Garut, yang menyeret nama seorang dokter kandungan. Rangkaian kasus ini menunjukkan bahwa pelecehan seksual di ranah medis bukan kejadian tunggal—melainkan seperti fenomena gunung es.
Menurut Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2024, terdapat lonjakan 9,77% dalam jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan dibanding tahun sebelumnya, dengan kekerasan seksual menjadi jenis kasus yang paling banyak dilaporkan. Ironisnya, 7,09% pelaku kekerasan berasal dari kalangan yang seharusnya menjadi pelindung, seperti guru, tenaga medis, hingga aparat hukum.
SOP Pemeriksaan: Harus Tegas dan Transparan
Kepala Dinas Kesehatan Kota Malang seperti dikutip dari kompas, Husnul Muarif, menekankan pentingnya Standar Operasional Prosedur (SOP) dalam pemeriksaan pasien untuk mencegah kejadian serupa. Beberapa langkah preventif yang dianjurkan meliputi:
1. Komunikasi yang jelas antara dokter dan pasien soal tindakan medis yang akan dilakukan.
2. Pemeriksaan dilakukan dengan pendamping tenaga medis atau pihak keluarga pasien.
3. Sosialisasi rutin kepada fasilitas kesehatan tentang pentingnya etika pemeriksaan.
“Kami rutin menyampaikan prosedur ini ke puskesmas, klinik, dan rumah sakit. Pemeriksaan harus berlangsung dalam suasana aman dan nyaman,” ujar Husnul.
Etika Profesi Harus Diperkuat
Fenomena ini menunjukkan bahwa sistem pendidikan etika dalam profesi medis belum berjalan optimal. Dosen Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang, Luluk Dwi Kumalasari, menyatakan bahwa kecerdasan tanpa etika hanya akan menghasilkan individu yang berbahaya. “Pendidikan berbasis moral dan Pancasila harus tetap menjadi fondasi dalam kurikulum,” katanya.
Ia menambahkan, perlindungan hukum dan edukasi seksual yang komprehensif adalah kunci untuk mencegah kekerasan seksual. “Semua pihak harus bersinergi menghapus kekerasan seksual. Jangan biarkan status sosial membungkam keadilan,” tegasnya.
Meningkatnya kasus kekerasan seksual oleh dokter menunjukkan urgensi perubahan sistemik dalam dunia medis—dari penguatan etika, SOP pemeriksaan, hingga perlindungan hukum yang berpihak kepada korban. Karena setiap ruang medis semestinya menjadi tempat penyembuhan, bukan luka baru. (FG12)