Rieke Diah Pitaloka |
Suara kritis anggota DPR semestinya dihormati, bukan dimaknai sebagai pelanggaran etik. Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia, Lucius Karus, menilai langkah Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) memproses aduan terhadap Rieke Diah Pitaloka sebagai bentuk respons yang terlalu cepat terhadap kasus yang terkesan sumir. Menurutnya, kritik adalah modal utama anggota DPR untuk mengawasi kebijakan pemerintah, termasuk melalui media sosial.
Lucius menegaskan, pemeriksaan terhadap Rieke yang mengajak penolakan PPN 12 persen justru mengikis daya kritis DPR. "Kalau MKD terus memproses aduan seperti ini, ada kesan mereka menjadi alat untuk meredam kritik kepada pemerintah," ujarnya.
Senada dengan itu, Deddy Yevry Sitorus dari PDI-P mengingatkan, DPR adalah lembaga checks and balances, sehingga kebebasan bicara anggota harus dijaga. "Sangat berbahaya jika MKD menjadi sarana untuk menggunting lidah anggotanya," kata Deddy. Ia menambahkan, yang seharusnya dipermasalahkan adalah anggota DPR yang abai terhadap aspirasi rakyat, bukan mereka yang vokal.
Rieke, yang dijadwalkan hadir di sidang MKD pada 30 Desember, meminta penundaan karena sedang menjalankan tugas reses hingga 20 Januari 2025. Ia juga meminta informasi lebih lanjut terkait materi aduan untuk mempersiapkan keterangan.
Kasus ini bermula dari aduan Alfadjri Aditia Prayoga yang menuding Rieke melanggar kode etik lewat konten media sosialnya. Konten tersebut mengajak publik menolak penerapan PPN 12 persen. Namun, langkah MKD untuk memproses aduan ini menuai kritik tajam.
Dengan adanya sorotan luas, kasus Rieke tidak hanya menjadi ujian bagi MKD, tetapi juga bagi DPR secara keseluruhan dalam menjaga daya kritis dan kepercayaan publik. Apakah kritik anggota DPR akan terus dihormati, atau justru dibungkam atas nama etika? (FG12)