Waktu, peristiwa, tokoh, dan logika memunculkan sebab akibat dalam sebuah cerita. Pada cerita fiksi, yang berarti pergerakan dan perubahan, sang tokoh yang awalnya tersenyum di akhirnya bisa menangis, menderita, "Tidak se-sumringah ini," kata penulis buku sekaligus content creator Kartini F. Astuti dalam seminar Writing with Passion (25/12), "Ada before after."
Hal ini berbeda dengan cerita non fiksi, "Ada yang mengikuti (perkembangan) kasus Jessica, Mirna? Dia dijadikan film dokumenter. Memang di situ ada unsur ceritanya, tetapi kita tidak pungkiri bahwa itu fakta."
"Walaupun yang bersalahnya kita tidak tahu siapa ya.. belum ditetapkan, apakah Jessica? Atau siapa dalang dibalik itu semua."
Menurut penulis buku Rahasia Melepaskan, Buku Tuhan Pantaskah Aku Pulang ke Surga, dan Buku Aku Benci Jatuh Cinta tersebut dalam cerita non fiksi bukan soal nyata dan tidak nyata, tetapi pematahan. "Dulu kita menganggap Jessica bersalah. Tetapi kemudian beberapa tahun kemudian, opini publik itu berbalik. Jadi mencurigai ayahnya Jessica," terang Kartini. "Karena apa? Karena sebuah film dokumenter, yang mengandung opini, itu mematahkan stigma banyak orang."
Kartini menyebut, apa yang paling dibutuhkan untuk menulis? Kunci utamanya adalah ide, hook, dan diksi.
Pertama, Ide. Ide adalah keinginan. Dan namanya keinginan harus ngotot, "Lo ga ngotot, idenya kurang kuat." tegas Kartini. Jika ingin menulis seperti Tere Liye, Boy Chandra, atau Bengawan Muhammad.
Ide dalam cerita fiksi harus 'menabrak' sesuatu, bertentangan, dan bertolak belakang. Kartini mencontohkan misalkan A ingin sesuatu tetapi sesuatu. "Semakin bertentangan antara halangan dengan tujuan, maka ide itu semakin keren. Kalau happy ending dengan mudah, mulus begitu saja, apalagi di bab pertama, ya dimana serunya?"
"Seorang pegulat.. tau yah ototnya sekekar apa. (Misalkan) seorang perempuan pegulat. Atau seorang perempuan angkat besi. Temen-temen bisa bayangin dia seberat apa. Dan dia jatuh cinta kepada seorang dokter diet. Dilema ga? Dilema. Bertentangan. Tapi bikin pembaca wah.. gitu." Jelas Kartini.
Ide dalam cerita non fiksi atau yang menceritakan patahan harus melihat fenomena yang terlanjur diyakini atau sudah jadi stigma. Kata kuncinya bisa, "Mereka bilang.. padahal ga gitu". Biasanya akan terjadi opini.
Semakin bagus opininya maka semakin mematahkan paradigma yang terlanjur diyakini. "Contohnya Buku Seni Bersikap Bodo Amat. Itu dia mematahkan stigma dengan cara ia ingin melawan motivasi yang sudah toxic. Ia ingin mematahkan ini. Bahkan di bab pertamanya tertulis 'Jangan Berusaha'. Aneh kan?" terang Kartini.
"Ternyata maksudnya ketika Anda mati-matian berusaha maka hidup Anda jadi menderita. Anggaplah diri Anda sudah sukses, maka Anda akan melakukan semuanya dengan gembira."
Kedua yaitu hook, adalah pancingan dalam kreasi konten, namun hook bisa juga menjadi pembuka dalam kepenulisan.
Menurut Kartika hook ini harus memiliki daya gantung. Yang biasanya di kalimat pertama membuat pembaca, "Hah..?", "Kok bisa gitu?".
Kalau di Tiktok, "Nyesel banget deh udah beli ini..". Kalau di buku bisa, "Kemarin aku mati."
Hah?
Jadi kita akan tergoda untuk menonton atau membaca sampai akhir.
Ketiga adalah diksi yang kongkrit. "Jangan abstrak," singkat Kartini. Contohnya adalah:
Saya menangis = kongkrit
Saya sedih = abstrak
Saya membanting pintu = kongkrit
Saya kecewa = abstrak
Tips menulis cerita di bawah ini bisa pilihan rekomendasi untuk mulai berkisah:
- Pikirkan yang tidak lumrah, "Gimana kalo...".
- Pikirkan sesuatu yang berkebalikan dengan stigma, bisa distimulus dengan "Siapa bilang kalo...", misalkan "Siapa bilang kalo cantik itu membahagiakan..? Cantik itu luka."
- Pikirkan sesuatu yang menggelisahkan seperti ada yang ingin digaruk, kata kuncinya "Terus kenapa kalo.." misalkan "Terus kenapa kalo aku tidak sempurna..?".
- Pikirkan sesuatu yang terlanjur diyakini banyak orang, kata kuncinya "Gak salah kalo...". "Gak salah kok kalo kita bersikap tak peduli...".
"Mengkritisi tulisan sendiri bisa membuat kita menjadi penulis yang punya ciri khas dan bersinar suatu hari nanti." -Kartini.
Penulis: Firdha Alifa Ibrahim dan Alivva Rahmani