Syaikh Muhammad Garut

Pada masa peralihan abad 19 ke 20 Masehi, terdapat banyak ulama-ulama besar Nusantara yang menjadi tokoh penting dalam dunia pendidikan di Makkah. Salah satunya adalah Syaikh Muhammad Garut. Syaikh Muhammad Garut tak lain adalah orang tua dari Syaikh Salim Garut.

Michael F. Laffan dalam “The New Turn to Mecca”, mengutip bagian dari catatan perjalanan Snouck Hurgronje ke beberapa pesantren di Priangan sepanjang 1889-1891 (LOr. 7931: 26), menyebut Syaikh Muhammad Garut sebagai putra dari Kiyai Hasan Basori Kiarakoneng (Laffan menulisnya dengan “Kiara Kareng”), Suci, Garut dari istrinya yang berasal dari Jawa di Makkah. Kiyai Hasan Basori sendiri adalah murid dari Kiyai Mulabaruk Garut dan guru dari R.H. Hasan Mustapa.

Muhammad Garut pada mulanya belajar dasar-dasar ilmu keislaman dari ayahnya di Kiarakoneng, juga dari pamannya Kiyai Muhammad Razi Sukamanah sekaligus dari kakeknya, Kiyai Abdullah Salim Cibangbang. Muhammad Garut juga sempat belajar kepada Kiyai Bunter di Tanjungsari Sumedang, lalu meneruskan ke arah timur, yaitu ke pesantren Sidoresmo di Surabaya di bawah asuhan Kiyai Ubaidah, kemudian menyeberang ke Bangkalan di pulau Madura.

Ketika berusia dua puluh tahun, Muhammad Garut pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji dan belajar di kota suci itu. Selama kurang lebih tujuh tahun lamanya, ia belajar di bawah bimbingan Kiyai Zahid Solo.

Setelah itu, ia pun belajar kepada Syaikh Muhammad Shâlih al-Zawâwî dan Syaikh Muhammad Hasbullâh al-Makkî, untuk kemudian menjadi murid terdekat dari Syaikh Ahmad Khatib Sambas. Syaikh Muhammad Garut sempat pulang ke tanah asalnya dan membina sebuah pesantren di kampung Balong, Cibunut, Garut. Di usia tuanya, Syaikh Muhammad Garut kemudian kembali pergi ke Makkah dan menetap di kota suci itu sambil mengajar.

Sebelumnya, Syaikh Muhammad Garut pernah dijumpai oleh Snouck saat ia berada di Makkah pada tahun 1885. Jejak tentang Syaikh Muhammad Garut terekam dalam buku Snouck yang berjudul “Mekka” (dipublikasikan pada tahun 1888). Snouck mendeskripsikan sosok Muhammad Garut sebagai ulama besar Sunda yang mengajar di Makkah dengan reputasi keilmuan yang tinggi.

Syaikh Muhammad Garut juga terbilang sebagai penyambung koneksi keilmuan antara Makkah dengan Sunda (Priangan) yang penting. Ia mengajar di Masjidil Haram dan membuka kelas keilmuan Islam di rumahnya yang terletak di Jabal (gunung) Abû Qubays, Makkah. Oleh karena itu pula, bagi kalangan orang-orang Sunda di Makkah, Syaikh Muhammad Garut lebih dikenal dengan julukan “Mama [Ajengan] Jabal”. Julukan lain untuk Syaikh Muhammad Garut adalah “Ajengan Balong” atau “Ajengan Cibunut” (merujuk pada pesantrennya di Balong, Cibunut, Garut).

Selain itu, Syaikh Muhammad Garut juga disebut sebagai salah satu murid dan suksesor Syaikh Ahmad Khatib Sambas, sang inisiator Tarekat Qadiriah Naqsyabandiah. Dalam jaringan ini, Syaikh Muhammad Garut selevel dengan Syaikh Abdul Karim Banten, murid dan suksesor Syaikh Ahmad Khatib Sambas yang paling masyhur. Syaikh Muhammad Garut memiliki seorang murid sekaligus suksesornya dalam tarekat ini, yaitu Kiyai Muhammad Shalih dari Sukabumi.

Syaikh Muhammad Garut memiliki beberapa anak. Di antara mereka adalah Syaikh Salim bin Muhammad Garut, Syaikh Abdullah Manshur bin Muhammad Garut, Syaikh Ahmad bin Muhammad Garut, Syaikhah Khadijah binti Muhammad Garut, dan yang paling terakhir adalah Syaikh Siraj bin Muhammad Garut.


Kitab Kuno Karya Ulama Makkah Asal Sunda Ditemukan

Salah satu kitab kuno karya ulama besar Makkah asal Sunda, Syaikh Siraj Garut Makkah ditemukan. Karya yang diterbitkan 20 tahun sebelum Indonesia merdeka itu berjudul kitab “Futûh al-Ilâhiyyah”.

Penemuan kitab tersebut disampaikan langsung oleh seorang pengkaji manuskrip-manuskrip kuno peninggalan ulama Nusantara sekaligus dosen Magister UNU Jakarta, A. Ginanjar Sya’ban. Penemuan harta karun warisan ulama Sunda yang lama hilang: kitab “Futûh al-Ilâhiyyah” karya Syaikh Siraj Garut Makkah bertahun 1925. Penemuan Kitab ini hasil dari pindaian Ustadz Muhammad Abid Muafan, yang mana ia sendiri mendapatkannya dari KH. Abdul Qadir bin Emed Ahmad, pengasuh pesantren Cimasuk, Garut, Jawa Barat.

Ia menjelaskan, kitab “Futûh al-Ilâhiyyah” ditulis dalam bahasa Sunda aksara Arab (Sunda Pegon) dan berisi himpunan bacaan tahlilan dan bacaan do’a-do’a lainnya. Kitab ini dicetak dalam format tipografi (cetak huruf baris) oleh Mathba’ah al-Taraqqî al-Qârûtiyyah yang berbasis di Garut milik Haji Muhammad Suyuthi. Tahun cetak kitab berangka 1344 Hijri (1925 Masehi).

Jumlah keseluruhan halaman kitab “Futûh al-Ilâhiyyah” adalah 18 (delapan belas) halaman. Pada halaman terakhir, terdapat sebuah pasal yang membahas tentang masalah hitung-hitungan ilmu astronomi (falak) yang berkaitan dengan penentuan awal bulan Syawal.

Berdasarkan tahun kelahiran Syaikh Siraj Garut, yaitu 1895, dan tahun cetak kitab ini, yaitu 1925, maka dapat dikatakan jika kitab ini ditulis oleh Syaikh Siraj Garut ketika ia berusia 30 tahun.

Syaikh Siraj Garut, lahir di Makkah pada tahun 1313 H (1895 M) dari keluarga ulama asal Garut yang telah lama bermukim di Makkah. Ketika berusia 13 tahun (1908 M), Siraj pergi ke kampung leluhurnya di Garut sekaligus belajar di beberapa pesantren di Tatar Sunda selama beberapa tahun lamanya.

Sumber : HIDAYATUNA.COM